Wednesday, July 06, 2011

Fiksi Mini: Mata Air Syurga

Tes..tes....

Ia melewati udara menembus pintu langit. Diam dan senyap. Sentuhan di atas bumi-Nya lah yg menjadikan ia nyanyian bagi setiap insan yang mendengar. Tariannya menjadi Rahmat bagi seluruh alam. Ia lah hujan..

Hujan ini menenami malamku. Allah mengizinkannya. Ia mengantarku pelan menuju masa kanak-kanak kita. Sudah belasan tahun berlalu, namun seperti baru terjadi kemarin. Kenangan bersamamu, sahabatku...

Dulu, dulu sekali, kita bermain di samping pematang sawah. Tanpa beban, penuh suka cita. Aktivitas bermain kita terhenti ketika mendung mulai menampakkan tanda-tanda turunnya butiran Rahmat Allah. Aku bergegas mengambil payung yang kusandarkan di pagar kayu rumah warga, tak jauh dari tempat kita bermain. Kubuka dengan hati-hati karena takut dimarahi ibu akibat merusak payung lagi. Kupikir kau ingin menikmati hujan seperti teman kebanyakan, tapi kulihat kau menghalau gerimis hujan yang mulai menyentuh kepalamu dengan tangan kecilmu itu. Kudekati kau, lalu kuajak kau berteduh di bawah payung bersamaku. Tanpa mengucapkan terima kasih, kau melangkah masuk di bawah payung sederhanaku dan tertawa kecil.

Di bawah payung kita melihat seolah hujan berlari-lari di atas pematang sawah. Ke kiri..ke kanan..seakan angin menahkodai lajunya.

Pikiranku melayang ke beberapa tahun setelahnya. Ketika kita telah beranjak remaja. Kau memiliki kehidupanmu, aku pun begitu. Kau sudah lama pindah rumah, dan sejak kepindahanmu kita jadi jarang bersama lagi. Namun Allah menakdirkan kita bertemu kembali di SMA.


Di hari berhujan, aku berjalan di trotoar dengan payung transparan pemberian kakakku. Payung yang bagus menurutku. Saat menengadah, aku bisa melihat seolah hujan jatuh menimpa mataku. Gelak tawamu membuyarkan lamunanku. Seperti biasa, kau berkumpul dengan teman laki-lakimu sesama senior di sudut sekolah. Aku tak begitu peduli, aku memilih melanjutkan langkahku.

Brruuumm!!
Creeess..

Motor yang kau kendarai berhasil membuat genangan air mengenai sepatu, kaos kaki, dan rok abu-abuku. Kotor. Dan aku geram. Kau menepi dan tergesa-gesa menujuku.
"Maaf ya, saya tidak sengaja..Maafkan.." pintamu memelas.

Melihat beberapa senior memandangi kita, aku hanya bisa menyimpan rasa kesalku. Maklum, aku siswa kelas satu. Baru saja selesai MOS. Aku bisa apa?
Akan tetapi, aku tahu, kesalku dapat terpancar dari wajah dan diamku. Sekali lagi kau meminta, tapi tak kugubris kalimatmu sedikitpun. Aku memilih diam dan segera berlalu sambil menunduk, menjauh darimu.

Sunday, July 03, 2011

Bintang yang kau bagi..

Aku mengabarimu dengan sebuah pesan singkat dari handphoneku, bahwa di tempatku langit begitu indah bertaburkan bintang. Saat ini waktu sudah memasuki dini hari. Dan sebenarnya kilau bintang itu kutemukan secara tak sengaja saat aku menyibak kain gorden jendelaku ketika aku terjaga.

Aku hanya ingin berbagi secara sederhana...

Di sana, bergegas kau menuju lantai dua rumahmu, berharap menemukan bintang yang sama seperti yang kupandang malam ini. Namun sayang, awan mendung menyelimuti malam di kotamu.

Lalu kau teringat sesuatu. Tak jauh dari rumahmu ada dataran tinggi yang bisa kau datangi dengan berkendara selama 10 menit. Kau pacu sepeda motormu ke sana, hanya untuk melihat kerlap kerlip lampu kota yang memang ramai di kotamu. Dan kau berhasil menyaksikannya, atraksi lampu kota yang tak kalah indah. Tepat ketika adzan Isya berkumandang, kau membalas kabarku..
"Benar. Indah..."