Tes..tes....
Ia melewati udara menembus pintu langit. Diam dan senyap. Sentuhan 
di atas bumi-Nya lah yg menjadikan ia nyanyian bagi setiap insan yang 
mendengar. Tariannya menjadi Rahmat bagi seluruh alam. Ia lah hujan..
Hujan ini menenami malamku. Allah mengizinkannya. Ia mengantarku 
pelan menuju masa kanak-kanak kita. Sudah belasan tahun berlalu, namun 
seperti baru terjadi kemarin. Kenangan bersamamu, sahabatku...
Dulu, dulu sekali, kita bermain di samping pematang sawah. Tanpa 
beban, penuh suka cita. Aktivitas bermain kita terhenti ketika mendung 
mulai menampakkan tanda-tanda turunnya butiran Rahmat Allah. Aku 
bergegas mengambil payung yang kusandarkan di pagar kayu rumah warga, 
tak jauh dari tempat kita bermain. Kubuka dengan hati-hati karena takut 
dimarahi ibu akibat merusak payung lagi. Kupikir kau ingin menikmati 
hujan seperti teman kebanyakan, tapi kulihat kau menghalau gerimis hujan
 yang mulai menyentuh kepalamu dengan tangan kecilmu itu. Kudekati kau, 
lalu kuajak kau berteduh di bawah payung bersamaku. Tanpa mengucapkan 
terima kasih, kau melangkah masuk di bawah payung sederhanaku dan 
tertawa kecil.
Di bawah payung kita melihat seolah hujan berlari-lari di atas 
pematang sawah. Ke kiri..ke kanan..seakan angin menahkodai lajunya.
Pikiranku melayang ke beberapa tahun setelahnya. Ketika kita telah 
beranjak remaja. Kau memiliki kehidupanmu, aku pun begitu. Kau sudah 
lama pindah rumah, dan sejak kepindahanmu kita jadi jarang bersama lagi.
 Namun Allah menakdirkan kita bertemu kembali di SMA.
Di hari berhujan, aku berjalan di trotoar dengan payung transparan 
pemberian kakakku. Payung yang bagus menurutku. Saat menengadah, aku 
bisa melihat seolah hujan jatuh menimpa mataku. Gelak tawamu membuyarkan
 lamunanku. Seperti biasa, kau berkumpul dengan teman laki-lakimu sesama
 senior di sudut sekolah. Aku tak begitu peduli, aku memilih melanjutkan
 langkahku.
Brruuumm!!
Creeess..
Motor yang kau kendarai berhasil membuat genangan air mengenai 
sepatu, kaos kaki, dan rok abu-abuku. Kotor. Dan aku geram. Kau menepi 
dan tergesa-gesa menujuku.
"Maaf ya, saya tidak sengaja..Maafkan.." pintamu memelas.
Melihat beberapa senior memandangi kita, aku hanya bisa menyimpan 
rasa kesalku. Maklum, aku siswa kelas satu. Baru saja selesai MOS. Aku 
bisa apa?
Akan tetapi, aku tahu, kesalku dapat terpancar dari wajah dan 
diamku. Sekali lagi kau meminta, tapi tak kugubris kalimatmu sedikitpun.
 Aku memilih diam dan segera berlalu sambil menunduk, menjauh darimu.
Malam di hari yang sama, seseorang mengetuk pintu rumahku. Ibu membuka pintu. "Assalamu'alaikum... Aku yakin itu salam darimu.
Saat itu aku agak heran pada diriku. Bagaimana mungkin aku begitu mengenali suara dewasamu ya?
"Wa'alaikumussalam. Habib?? Mari masuk, nak.."
Lalu terjadilah percakapan pada umumnya. Habib, lama tidak jumpa, 
nak. Bagaimana kabar ayah ibumu? Cari Salsabila ya? Percakapan itu 
sayup-sayup terdengar dari balik tangga tempatku duduk mencuri dengar.
"Sabil nya lagi kerjain tugas. Katanya tugasnya banyak, jadi lagi 
tidak mau diganggu tuh, nak..Hm.. Mau titip pesan? Nanti tante yang 
sampaikan". Begitulah penjelasan ibu. Sesuai pesanku.
"Hm..Ya sudah kalau begitu, tante. Nanti saja saya yang sampaikan langsung. Kalau begitu saya pulang dulu, Tante."
Ibu buru-buru menimpali, "lho? Kan lagi hujan, nak. Tidak tunggu reda aja?"
"Tidak apa-apa kok, Tante. Justru saya minta maaf karena bertamu malam-malam begini." Ucapmu dengan nada sopan pada ibuku.
"Kamu kayak orang lain saja, Bib. Kan sudah lama juga tidak main ke sini. Ohya, ke sini nya naik apa?"
"Naik bus, Tante. Turun di halte depan"
Ibu nampak setengah kaget. "Ya ampun..repotnya. Kenapa tidak naik motor saja?"
"Hm.."
Aku menunggu kalimat darimu.
"Takut ada yang marah kalau lihat motor saya, Tante.."
Seandainya kau tahu, saat itu aku tertawa mendengar penuturanmu tentang motor.
Lalu tak berapa lama kau berpamitan untuk pulang. Aku ingat, di luar
 sedang hujan. Bahkan lebih deras dibanding saat kau datang. Entah apa 
yang mendorongku saat itu. Aku mengambil payung transparan dan berlari 
menuruni tangga untuk memberikannya padamu. Sedetik kau terlihat kaget 
melihatku muncul dari balik pintu. Namun kau berusaha menguasai dirimu.
"Nih..pakai" kataku singkat sembari menyodorkan payung favoritku.
Kau mengambilnya, lalu hendak memulai percakapan. "Makasih. Sabil, yang tadi so-"
"Pulangnya hati-hati." ucapku memotong kalimatmu.
"Ng, iya.."
Tanpa menunggu aba-aba, aku bergegas masuk dan menutup pintu. Membiarkanmu sendiri dengan segala dugaan yang memenuhi pikiranmu.
Di dalam rumah, aku menaiki undakan tangga dengan sedikit tidak 
konsentrasi. Kurasa ada sesuatu yang ikut tertinggal ketika 
meninggalkanmu. Wajahku panas. Pikirku saat itu, mungkin aku demam...
Hujan masih turun. Ia masih setia menemaniku. Ia masih ingin berbagi
 kisah bersamaku. Bayangan embun dan sisa tetes air hujan terpantul dari
 balik kaca jendela di atas kerudung yang kuletakkan di tempat tidurku. 
Aku tersenyum melihat kain sederhana itu. Di hari ketika aku memasuki 
dunia kerja beberapa waktu lalu, aku mengenakan kerudung untuk yang 
pertama kalinya. Kerudung biru muda. Aku tahu jika menghitung masa 
balighku, aku terlambat untuk melaksanakan perintah Allah untuk menutup 
aurat. Namun, kini aku telah mengenakannya. Dan aku berniat untuk 
istiqamah pada pilihanku.
Ingatanku terjatuh di hari pertama aku bekerja. Aku baru selesai 
bekerja ketika senja mulai menyapa. Namun awan mendung menyembunyikan 
rona wajah mentari itu. Sedih, sudah hampir maghrib tapi aku belum 
beranjak dari kantor. Satu persatu rekan kerjaku dijemput. "Duluan yah, 
mbak Sabil.." begitu kata mereka. Aku hanya membalas dengan anggukan dan
 senyuman.
Sambil menunggu hujan reda, kusibukkan diri dengan mengirim pesan 
singkat ke teman. Mungkin aku akan melaksanakan shalat maghribku di 
kantor saja, pikirku.
"Assalamu'alaikum, Bu.."
Aku terlonjak kaget dengan sapaan seseorang yang kukenal. Itu kau.
"Wa,..Wa'alaikums..salam." balasku terbata. Aku berusaha menguasai diri. "Kok ada di sini? Ngapain?"
"Kan mau menjemput.."
"Jemput siapa? Ada kenalan yang kerja di sini juga?"
Kau tersenyum simpul. Memamerkan dua lesung pipimu. Aku sedikit iri 
melihatnya. Kemejamu masih rapi, meski dasinya sudah tak kau kenakan. 
Aroma parfum mu pun masih segar menusuk hidung. Laki-laki memang sah sah
 saja memakai parfum. Sedikit iri lagi. Ah, aku ini mikir apa...
"Menjemput Mata Air Syurga.."
Agak asing kedengarannya. "apa?"
"Maksudnya menjemputmu, Bu Salsabila. Tadi saya main ke rumah. Kata 
tante kamu belum pulang. Jadi saya ke sini saja, mungkin saja kamu 
terjebak hujan, tidak bisa pulang. Ternyata benar di sini juga hujan.."
Kau membuka kembali payung yang tadi kau tutup. Lalu dengan wajah 
agak ragu kau berkata sesopan mungkin. "Maaf, payungnya kamu pakai saja 
ya. Kita tidak muat berdua kayaknya. Nanti saya lari-lari saja ke depan.
 Mobilnya di parkir tidak begitu jauh kok. Kamu bisa lihat saya di 
seberang jalan sana.."
Ah, aku tahu. Begitu kau selesai memberi salam tadi kau memang 
nampak pangling melihat kerudungku. Ini pertama kalinya kau melihatku 
mengenakan kerudung. Pantas saja sikapmu agak lain. Entahlah...
"Tidak apa-apa. Sepayung saja". Mana mungkin kubiarkan kau berhujan-hujan? Entah. Aku hanya tak tega saja.
Kau mungkin tidak tahu sebaiknya berkata apa. Kau memilih diam. 
Tangan kirimu memegang payung dan kau mengambil posisi berjalan di 
sebelah kananku. Jarakmu menurutku cukup jauh, seperti tidak ingin 
menyentuhku. Dan aku baru sadar ketika kita sudah hampir tiba di mobil 
yang terparkir. Rupanya sejak tadi kau memiringkan payung lebih banyak 
ke arahku sehingga aku tak terjamah hujan, dan kau merelakan bahu serta 
seluruh kemeja sebelah kananmu basah oleh air hujan. Bahkan kau bersedia
 membukakan pintu mobil dan memastikan aku duduk aman di dalamnya 
sebelum kau bergegas memutari mobil menuju kursi di belakang kemudi.
Entah kenapa juga saat itu aku menunggu responmu tentang penampilan 
baruku. Namun kau lebih banyak diam. Detik itu, aku perpanjang 
istighfarku, karena tak seharusnya aku berharap pujian dari manusia.
Akan tetapi, sebaris kalimat meluncur dari mulutmu selepas shalat maghrib di salah satu masjid yang kita singgahi.
"Semoga istiqamah, Bila.."
Habib...
Kau sahabat kecilku yang baik hati.
Kau telah berubah, dari bocah kecil menjadi pria dewasa.
Di satu sisi kau tetap sama. Kebaikan dan keramahanmu tetap sama, 
padaku dan kuyakin pada semua orang yang mengenalmu. Teruslah menjadi 
Habib yang kukenal. Hujan ini memberikan kenangan terbaik bersamamu. 
Terima kasih Allah...
Terima kasih...
Segala puji bagi-Mu yang menciptakan hujan dengan segala skenario di dalamnya bagi hamba-Mu.
Tes..tes....
Rahmat Allah masih turun membasahi bumi.
Waktu terbukanya pintu langit. Terbuka, hingga mata air syurga menari di antara rasa rindu seorang hamba kepada-Nya.
******
dari yang merindukan tetesan Rahmat Allah bernama hujan, Rahmah Al Hasnah Yusuf.
@ Makassar. Senin, 4 Juli 2011.

bagus em... ^^ hugs.. jd inget ms smu hahaha
ReplyDeletehehehe..nostalgia yah?? :)
ReplyDeletesangat inspiratif dna menggugah..
ReplyDeleteALHAMDULILLAH.. :)
ReplyDeletebagus ceritanya
ReplyDelete