Seperti hari kemarin, usai belajar aku dan beberapa kawan berjalan menuju surau. Di dalam, orang-orang yang sudah berkumpul di salah satu sudutnya menarik perhatianku. Kudatangi perkumpulan itu bersama seorang kawan, penuh semangat ikut duduk melingkar. Mereka yang tadinya ramai bercerita mendadak terdiam. Semuanya menoleh ke arahku. Salah satu yang kutebak sebagai pemimpin majelis membuka suara.
"Maaf Zainuddin, kami ingin membahas sesuatu yang hanya bisa dibicarakan ke sesama anak Sumatera. Jadi kiranya.."
Kalimat menggantung itu sudah kuketahui maksudnya. Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Bangkit berdiri, mundur menjauh dari majelis. Kawanku tak ikut, ia tertahan.
Di sudut surau yang lain aku memilih berbaring, memandang bayangan lilin yang menari di atas dinding kayu. Kupejamkan mata, mengabaikan perasaan dikucilkan yang kerap kualami sejak hari pertama aku tiba di tanah Minang, di dusun Batipuh yang elok, setahun lalu. Begitu pandai aku dijamu ketika aku sedikit berharta di awal kedatanganku. Berkurangnya hartaku, berkurang pula kasih sebagian dari mereka, bahkan dari yang masihlah ada hubungan saudara. Di sini pun tak jauh beda. Dianggap orang asing, tak bersuku, membuatku sulit berucap "aku pun orang Minangkabau", meski ayah seorang asli Minang keturunan bangsawan dan bergelar. Di Padang Panjang, keluarga Bang Muluk lah yang selalu hangat dan penuh suka cita menyambut dan menerimaku sungguh apa adanya. Memberi semangat di setiap langkahku menuntut ilmu, selain surat-surat dari Mak Base dan surat-surat kerinduan Hayati jauh di Batipuh.
Pesona Gunung Singgalang, Padang Panjang |
Pesona Laut Pulau Samalona, Makassar |
Cukuplah pepatah orang Makassar,
"anak laki-laki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah buat berjuang, kalau perahunya telah dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut palang, meskipun bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah, biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang."
Do'a dan restu Mak Base yang kurindu, selalu kupinta. Do'a yang tak terhalang luasnya samudra dan tingginya gunung, akan selalu sampai.
Melindungi anak pejuang yang terbuang.
***
..fiksi mini..alias karang bebas.
Oleh : Rahmah/Emma
Fanfic terinspirasi dari karya Buya Hamka "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck".
tanah Mangkasara', 12 Februari 2014, mendekati pukul 10 malam.
***
Hmm..tahun 1931..ketika 3000 rupiah bisa jadi mahar yg mahal. :D
Hhmmm, bagus..
ReplyDelete