Friday, April 10, 2015

Ummu Hafsah, Cinta, dan Sepotong Rindu

Shalat dzuhur baru saja usai. Jamaah masih banyak yang duduk di tempatnya masing-masing, kecuali bagian untuk bertawaf. Seketika jalanan itu sudah dipenuhsesaki orang-orang. Luar biasa kekuatan dan keinginan orang-orang untuk terus beribadah. Yang tua tak mau kalah dengan orang muda. Yang berkursi roda tak mau kalah dengan yang berjalan dengan kedua kakinya.

Duduk tepat di samping kananku seorang wanita berjubah dan berniqab hitam. Seorang gadis kecil berusia sekitar 3 tahun dengan wajah cantik khas timur tengah dan begitu menggemaskan dengan rambut coklat ikal sebahu yang memanggil "ummi" duduk pula tak jauh dariku. Gadis kecil ini senang bermain-main dengan alat makeup mainannya. "Siapa namamu, sayang?" tanyaku. Ia menatapku dengan senyuman bercampur heran. Mungkinkah ia tak mengerti bahasa inggris? batinku.

"Hafsah", jawab ibunya, wanita berniqab itu, mewakili Hafsah. Aku tersenyum pada mereka. Aku mengatakan Hafsah cantik dan mainannya bagus, lalu sesekali dengan tingkah malu-malu Hafsah mengajakku bermain dengan menyodorkan lipstik kecilnya. Ia disenangi oleh ibu-ibu di sekitar kami yang juga membawa anak kecil. Kulihat ada akhwat yang memberinya permen. Kuberikan juga permen yang kutemukan dari tasku. Ibunya berkata dengan bahasa Inggris yang jelas "syukran, sister. Sudah cukup baginya makan permen hari ini..", dengan mata yang menyipit ramah. Ummu Hafsah tersenyum dari balik niqabnya.
Datang seorang anak laki-laki ke tempat kami. Dia anak Ummu Hafsah yang lain. Gadis kecil itu lalu bermain dengan kakaknya tersebut. Usianya sekitar 5 tahun. Kutanya siapa namanya dengan menggunakan bahasa inggris. "Ibrahim", jawab anak laki-laki itu sambil tersenyum malu. Rupanya ia mengerti. Duh..hidung mereka mancung, bulu matanya masyaaAllah panjang lentik..cantik dan tampan sekali kedua bersaudara itu. Melihat mereka, aku mengelus-elus perut (mungkin aku lapar..).

Ibunya pun bertanya siapa namaku dan darimana asalku. Percakapan kami cukup panjang hingga aku tahu bahwa beliau adalah orang Pakistan yang menikah dengan pria asal Mekkah dan kini berdomisili di Mekkah. Beliau lulusan universitas ternama di London, pantas saja bahasa Inggrisnya begitu fasih. MasyaaAllah.

Ummu Hafsah kemudian bertanya aku sekolah dimana. Sekolah? Mungkin maksud beliau belajar di kampus mana?

"Aku kuliah di Universitas Hasanuddin di Makassar, di Indonesia, Ummu". Rupanya Ummu Hafsah mengira aku masih setingkat siswa SMA. "Jurusan apa yang kamu pilih?", tanyanya lagi. "Sastra Jepang" jawabku. "MasyaaAllah..kelak kamu bisa belajar dan bekerja juga berdakwah di Jepang insyaaAllah". Kalimat itu membuatku tersenyum lebar. Ibu muda ini bertanya usiaku, dan kujawab 21 tahun kalau nanti aku ulangtahun. Beliau bertanya lagi apa aku sudah menikah atau belum, pembaca pasti bisa menebak jawabanku saat itu..^^. Sang ibu kemudian menyentuh lembut tanganku sembari mendoakan aku bertemu pria shalih dan menikah dengannya. Ia pun berpesan, agar aku memilih pria yang baik akhlaknya, baik pemahaman ilmu agamanya, baik tauhidnya, maka hidupku bersamanya akan baik dan selamat dunia akhirat insyaaAllah. Bergetar hati ini mendengar itu. Dengan khidmat kuucap insyaaAllah. Segala doa ia ucapkan dan aku tersenyum malu mengaamiinkan.

Di tengah obrolan, Hafsah mengusik Ibrahim, kakaknya. Gadis kecil itu menjadi rewel sekali. Sedangkan Ibrahim lebih banyak mengalah dan menghindari pukulan Hafsah. Anak laki-laki ini begitu manis dengan gamis putih dan peci putihnya. Ibrahim tipikal kakak yang sabar, tenang, dan lebih penurut. Ummu Hafsah bercerita bahwa sifat kedua anaknya sangat bertolak belakang. Ibrahim memang lebih pendiam, sabar, dan sering mengalah, type kakak yang sangat kalem dan tidak perlu diperintah dua kali. Sedangkan Hafsah, menurut ibunya, adalah anak yang cerewet, aktif, periang, senang bercanda, berkemauan kuat, tapi mudah marah. Mereka sempat berebut botol air zam-zam sebelumnya.  Ummu Hafsah melerai mereka. Ibrahim duduk di sampingku menuruti saran ibunya, agar terhindar dari amukan si kecil Hafsah, dan Hafsah didudukkan di pangkuan sang ibu. Berkali-kali ibunya meminta Hafsah tenang dan berhenti menendang-nendang. Tidak sekalipun kulihat ibunya membentak atau marah dengan perlakuan Hafsah yang agak kasar. Beliau tetap saja memanggil nama Hafsah dengan penuh kelembutan.

Sang ibu menidurkan Hafsah di kakinya, lalu menunduk mengucapkan ta'audz tepat di telinga anaknya, berkali-kali sampai anaknya tidak rewel lagi. Sesekali ia menasehati Hafsah dengan bahasa arab, entah nasehat atau kalimat lain..ah..aku belum tahu bahasa arab. Kemudian beliau berta'audz lagi di telinga anaknya. Aku memperhatikannya dan pikiranku melayang pada kejadian beberapa waktu sebelumnya, dimana aku melihat seorang ibu berjilbab besar mendiamkan anaknya yang rewel dengan teriakan, jeweran, dan tamparan yang keras.

Aku terpesona dengan cara Ummu Hafsah mendamaikan hati anaknya. Diajaknya si kecil berbicara dengan lembut, dipeluk, diusap-usap kepala dan punggungnya, dibacakan doa ke telinganya, ia pun sempat mencandai anaknya yang tengah rewel karena aku mendengar tawa kecil Ummu Hafsah. Semua cara itu sangat manjur untuk menenangkan Hafsah..masyaaAllah senang sekali melihat semua itu.

Alhamdulillah..Hafsah kembali tenang dan tersenyum riang lagi, bahkan tertawa saat sang ibu menggelitik pinggangnya. Cantik sekali anak mungil ini saat tertawa. Duh... ~_~ (minta yang begitu, Tuhan..^^v). Sebenarnya aku ingin bertanya bagaimana ia bisa mendiamkan anaknya dengan cara seperti itu. Namun kupikir-pikir lagi, memang begitulah sebaiknya seorang ibu shalihah menenangkan anaknya. Dipeluk, dinasehati dengan sesabar-sabarnya, lebih syukur lagi jika sang ibu mendoakan kebaikan kepada anaknya seperti yang dilakukan Ummu Hafsah terhadap Hafsah.

Adakah yang pernah mendengar kisah masa kecil salah satu Imam besar Masjidil haram?

Sedikit kubahas, bahwa kala beliau masih kecil dan berbuat kenakalan, sang ibu yang marah berkata kepadanya "Pergilah kamu ke masjid dan jadilah kamu imam!". MasyaaAllah. Dengan proses hidup yang Allah izinkan, maka jadilah beliau Imam besar sungguhan.

Wahai para ibu yang diRahmati Allah...bisakah lisan ibu berkata yang baik-baik saja meski sedang dalam keadaan marah besar? Sungguh setiap kalimat ibu bisa menjadi doa. Doakanlah kebaikan. Tak ada yang terucap selain kebaikan.

Dan hal ini pun jelas adalah nasehat dan pengingat untukku. Semoga aku selalu ingat.

"Allah mengamanahkan anak-anak kami kepada kami. Bagaimana mungkin karena kerewelannya sebagai anak kecil, mereka kusakiti?" Ummu Hafsah berucap sembari memandangiku lekat, "Kamu lihat matanya?" Ummu Hafsah menunjuk kedua bola matanya yang tidak tertutup niqab dengan menjatuhkan pandangan pada Hafsah yang sudah bermain akur bersama kakaknya. "Begitu bersinar. Ia seperti bidadari yang Allah anugerahkan kepada kami. Ia harus kami sayangi dan lindungi. Aku tak ingin melihat kesedihan di mata itu."

Aku masih diam mendengarkan.

"Senyumnya sangat kucintai. Melihat senyum itu selalu menghiasi bibir anak-anakku, membuat rasa letihku dalam mengurusinya hilang seketika.. Aku mencintai mereka semua ya sister." Mata Ummu Hafsah kembali tersenyum. Ya, masing-masing kita memiliki dua senyuman. Satu senyuman yang terlukis di bibir, dan senyuman lain dapat terbaca dari mata yang jujur.

Setelah mendengarkan curahan hati Ummu Hafsah, diam-diam aku berdoa agar Allah menganugerahkanku sifat lembut dan penuh kasih sayang dalam mengurus keluarga, suami dan anak-anak kami kelak, seperti dirinya. Dan berdoa semoga ibunda yang penyayang akan tetap selalu ada dan semakin banyak di dunia ini, dan mendapat naungan Rahmat dari Allah Subhanahuwata'ala.

Allah memberikan pelajaran kepadaku lewat pertemuanku dengan wanita shalihah itu. Syukur dan bahagia melihat semuanya. Kenangan yang takkan pernah aku lupakan. Tersimpan manis dalam diary hidupku. Semoga Allah meRahmati keluarga mereka.

Terima kasih, ya Allah...

Sudah banyak jamaah yang berlalu lalang di dekat kami. Shaf sudah banyak yang kosong dan lengang. Nenek Hafsah pun sudah datang, dan benarlah tebakanku bahwa mereka akan pergi. Ummu Hafsah berpamitan. Ia mencium pipi kanan kiriku dan berharap semoga aku bisa berkunjung kembali ke Mekkah. Sekali lagi doa baik itu aku aamiinkan. Aku berucap semoga kami bisa bertemu lagi suatu hari nanti, dan beliau turut mengaamiinkan. Ibu muda itu bangkit berdiri, jubah hitamnya yang tersingkap sekilas  memperlihatkan baju ala Pakistannya. Warna kuning emas dan merah. Sebelum mereka benar-benar pergi, kuajak anak-anak mereka berfoto bersama. Iseng kutekan tombol rekam video dan kuabadikan keluarga kecil itu dalam video berdurasi singkat. Aku merekamnya bersama Ibrahim. Merekam ayah mereka yang berjanggut lebat dan bergamis putih yang juga datang menghampiri kami. Kuambil alih kamera dan kusorot si kecil yang tampan. Ibrahim dan Hafsah melambaikan tangan mereka dengan malu-malu ke arah kamera. Mereka tersenyum, manis sekali. Benar kata ibunya, mereka seperti bidadari...

Semoga Allah memberkahi setiap langkahmu, Nak... Semoga kalian menjadi anak yang shalih shalihah di bawah naungan kasih sayang ibunda dan ayahanda kalian.

Kalian.

Kita.

Mekkah.

dan Rindu.

**

Rahmah elHasnah (@emmakizora)

Mekkah in love true story ^^:)
Makassar, Jum'at, 10 April 2015.


**
Lupa tukeran nomor hape..huhuhu ^^"

No comments:

Post a Comment

say what you need to say & be kind :)